Pulau Babi, Pulau Lokalisasi di Batam

margio
5 min readMay 13, 2018

--

Pada Agustus tahun lalu, saya diajak dosen saya untuk membantu proyek penelitian postdoctoral-nya. Proyek ini meneliti ekologi media di daerah rural melalui perspektif gender. Saya ditugaskan menjadi peneliti muda bersama seorang peneliti senior di Belakang Padang, sebuah pulau kecamatan di Batam. Selama sepuluh hari kami mengumpulkan data melalui kuisioner, diskusi grup terfokus, wawancara mendalam, dan pemetaan media.

Pada satu kesempatan kami mengunjungi sebuah pulau yang terletak tidak jauh dari pulau utama. Pulau ini terletak di sebelah utara Pulau Belakang Padang. Kami menuju ke sana dengan menggunakan ojek air seharga Rp 10.000 per orang dengan waktu tempuh sekitar lima belas menit.

Perjalanan ke Pulau Babi dari Belakang Padang menggunakan ojek air. Tampak di kanan atas dermaga kecil di mana ojek air akan berlabuh.

Namanya Pulau Babi, luasnya tidak lebih dari tiga lapangan sepak bola. Pulau ini masuk wilayah kelurahan Sekanak Raya, kecamatan Belakang Padang, Batam. Secara administratif, nama pulau ini adalah Pulau Amat Belanda. Saya tidak berhasil menemukan alasan kuat mengapa terdapat dua nama untuk satu pulau ini. Beberapa mengatakan bahwa nama kedua digunakan setelah nama pertama dinilai peyoratif karena sering dikaitkan dengan lokalisasi yang ada di pulau ini, sementara beberapa yang lain mengatakan bahwa dulunya pulau tersebut digunakan untuk ternak babi (dan jadilah Pulau Babi). Bagaimanapun, penduduk lokal di Batam menggunakan nama pertama, alih-alih nama administratif resmi, untuk menyebut pulau.

Hanya terdapat beberapa toko kelontong kecil dan satu masjid di pulau ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para penduduk harus pergi ke Belakang Padang yang berjarak kurang lebih lima belas menit menggunakan ojek air atau perahu pribadi . Pulau ini juga tidak mempunyai sekolah sama sekali, sehingga anak-anak usia sekolah menempuh pendidikannya di Belakang Padang. Sebagai bantuan, pemerintah memberikan dana transportasi bagi setiap anak di Pulau Babi untuk pergi bersekolah ke Belakang Padang.

Sepanjang mata saya memandang, semua toko kelontong di Pulau Babi menempel pada bagian depan rumah, seperti foto di atas. Peneliti senior yang datang bersama saya sedang bercengkerama dengan seorang pemilik toko.

Pulau kecil ini dihuni oleh kurang lebih enam puluh kepala keluarga. Rumah-rumah sebagian besar berdinding kayu dan dibangun di atas tonggak-tonggak kayu besar yang menancap di air, tipikal rumah panggung di daerah laut. Beberapa rumah mempunyai plat kecil bertuliskan “rumah tangga” yang menempel di dinding bagian depan rumah untuk membedakan diri dengan rumah-rumah lain yang menyediakan kafe, mini bar, dan bilik karaoke untuk menjalankan bisnis prostitusi.

Meskipun demikian, salah seorang penduduk memberi tahu saya bahwa terdapat alasan lain juga. Ia memaparkan bahwa penduduk pulau sering mendapatkan stigma dari penduduk Belakang Padang. Anak-anak mereka yang bersekolah di sana sering menjadi korban bullying oleh teman sejawat karena berasal dari “pulau pelacur”, ia melanjutkan. Oleh karena itu, tanda tersebut juga merupakan klaim moral penduduk agar tidak direndahkan di mata orang-orang.

Plat keterangan bagi penduduk lokal untuk membedakan diri.

Setelah mengelilingi pulau yang memakan waktu kurang dari satu jam, saya mewawancarai seorang mucikari. Kita sebut saja Mami. Mami bercerita bahwa sekarang ini di Pulau Babi terdapat sembilan mucikari — jumlah yang menurut saya fantastis jika mengingat luas pulau yang tidak seberapa luas. Para pekerja seks di pulau ini semuanya adalah perantau, dengan mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Menurut penuturan Mami, para calon pekerja langsung datang ke rumahnya dan meminta untuk dijadikan anak buah. (Sepertinya reputasi Mami sudah menyeberang sampai ke luar pulau.)

Saya tidak tahu apakah mucikari adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan Mami. Pada dasarnya, Mami hanya menampung para pekerja yang datang kepadanya. Dalam menggaet pelanggan, Mami tidak menarik komisi kepada para pekerjanya. Penghasilan Mami datang dari usaha kafe dan bilik karaoke yang ia operasikan di rumahnya, yang juga merupakan tempat para pekerjanya menjajakan jasa. Jika kita mengesampingkan bisnis prostitusi yang Mami jalankan, maka hubungan Mami dengan para pekerjanya lebih mirip seperti ibu kos dan penyewa kos.

Pelanggan lokalisasi pulau ini sebagian besar adalah para awak kapal yang sedang transit. Para lelaki yang menyeberang lautan dan meninggalkan keluarga di Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa “datang untuk menghilangkan penat”, kata Mami kepada saya. Selain dari kapal domestik, pelanggan juga datang dari awak kapal negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan bahkan Thailand.

Kami bercengkerama bersama Mami di teras rumahnya.

Terdapat kewajiban lapor bagi pekerja dan pelanggan ketika transaksi jual-beli seks sudah sudah disetujui. Pihak pelanggan dan pekerja wajib menyerahkan kartu identitas seperti KTP atau paspor kepada kepolisian di pos keamanan dan membayar sejumlah uang. Mami bercerita bahwa kewajiban melapor ini adalah tindakan untuk menangkal penculikan pekerja yang dulu sering terjadi. Meskipun di tiap rumah bordil sudah disediakan tempat, pelanggan terkadang ingin mencari suasana baru dan mencari tempat lain untuk memadu kasih. Hal buruknya, para pelanggan nakal sering membawa pekerja keluar dari Pulau Babi untuk disekap selama berhari-hari.

Kontras dengan hal di atas, para pekerjanya bisa menjadi simpanan oleh orang-orang Singapura yang berkunkung — jika beruntung. Sesudah menjadi simpanan, seorang pekerja akan dibelikan rumah dan dibiayai kehidupan sehari-harinya. Ia akan dikunjungi dua sampai lima kali sebulan, selayaknya istri yang menikah dengan suami yang bekerja di negeri orang. Apabila pelanggan benar-benar terpincut, pekerja bahkan bisa dinikahi dan dibawa ke Singapura.

Sebuah rumah bordil di Pulau Babi. Setiap rumah bordil di pulau ini mempunyai mini bar dan bilik karaoke, tetapi yang satu ini juga menyediakan fasilitas lebih. Berbentuk panjang ke belakang, di dalamnya terbangun ruangan-ruangan yang digunakan sebagai “motel instan” untuk memadu kasih.

Lokalisasi di pulau ini sempat memasuki masa kejayaan pada tahun 1990-an. Pada masa itu kafe dan mini bar tidak pernah sepi. Ratusan pelanggan, baik domestik maupun mancanegara, datang tiap minggunya. Bir dipasok tiap harinya, kelap-kelip lampu mengalahkan kelap-kelip bintang, dan alunan musik yang tidak pernah putus mengiringi kebahagiaan traksaksional antara pelanggan dan pekerja. Lumbung uang Mami kala itu begitu menumpuk sampai ia bisa membuka usaha dagang di Batam dan menguliahkan dua anaknya di Jawa.

Namun, tidak ada kejayaan seperti dua puluh tahun yang lalu ketika saya menginjak tanah di pulau ini. Kedatangan saya di Pulau Babi hanya disambut kegersangan tanah dan suara angin laut. “Sekarang sudah sepi, gak kayak dulu lagi”, ucap Mami. Apabila dulu Mami bisa memiliki anak buah sampai puluhan, sekarang ini ia hanya memelihara kurang dari lima. Keramaian di pulau ini menurun drastis, dengan jumlah kedatangan pengunjung rata-rata sepuluh orang di akhir pekan dan hampir nol di hari biasa. Melihat kondisi kehidupan di pulau ini sekarang, saya menilai bahwa bisnis prostitusi dulunya adalah penggerak utama ekonomi Pulai Babi.

--

--

margio
margio

Written by margio

“Stories matter. Many stories matter” - Chimamanda Ngozi Adichie, The danger of a single story.

No responses yet